Kontroversi Stenting Arteri Karotis: Langkah
Invasif untuk manfaat preventif


23 Sep 2020, 12:33 Dandi Gumilar Dibaca : 1,790


dr. Vito A. Damay, Sp.JP, M.Kes
 
Stroke dan serangan jantung berada dalam tiga peringkat teratas penyebab utama kematian dan morbiditas di dunia. Di Indonesia, stroke merupakan penyebab kematian nomor satu berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar terakhir.
Saat ini berkembang teknik revaskularisasi dengan cara stenting yang bertujuan mencegah kejadian serebrovaskular pada penderita stenosis arteri karotis. Apakah risiko tindakan invasif ini mengimbangi manfaat preventif yang dituju?
 
Fakta menarik bahwa baik serangan jantung dan stroke berbagi faktor risiko utama yang sama, menjadikan kita berpikir bahwa angka-angka statistik kejadian stroke dan serangan jantung menyembunyikan bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Sangat mungkin populasi yang berisiko terkena salah satu atau kedua penyakit mematikan tersebut, masih tampak “ sehat-sehat” saja.
Sekitar 20% dari kejadian stroke melibatkan penyempitan pembuluh darah karotis yang merupakan saluran utama aliran darah ke otak. Walaupun peran medikamentosa dalam pencegahan kejadian serebrovaskular merupakan aspek yang penting, namun teknik revaskularisasi saat ini makin berkembang merupakan langkah agresif untuk mengatasi masalah akibat stenosis arteri karotis tersebut.
 
 
 
 
REVASKULARISASI KAROTIS dan PREVENSI STROKE
 
Revaskularisasi pada stenosis arteri karotis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Endarterektomi (Carotid Endarterectomy-CEA) dan stenting arteri karotis (Carotid Artery Stenting-CAS. Cara ini menggunakan kateter untuk mengantarkan balon yang dikembangkan untuk melebarkan penyempitan lumen arteri karotis, dan patensinya dipertahankan dengan stent. Prosedur CAS ini juga menggunakan aplikasi filter untuk mencegah serpihan plak akibat prosedur agar tidak sampai menyumbat arteri serebral.
 
Indikasi CAS diantaranya adalah plak arteri karotis yang simtomatis dengan risiko tinggi komplikasi bila dilakukan CEA. SAPPHIRE trial menunjukkan CAS non-inferior dibandingkan dengan CEA dalam hal mortalitas dan terjadinya stroke 30 hari hingga 1 tahun pasca prosedur. Oleh sebeb itu, CAS direkomendasikan sebagai alternatif CEA bila dilakukan oleh operator dan tim yang berpengalaman.
 
Studi lain oleh Thomas Brott dkk melanjutkan pengamatan pada ribuan subjek yang menjalani CAS atau CAE, menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal mortalitas, stroke ipsilateral pada periprosedural atau post prosedural atau infark miokard. Pengamatan awalnya di lakukan selama 1 tahun lalu 4 tahun setelah prosedur, dan akhirnya dalam jangka 10 tahun setelah prosedur. Dalam studi tersebut juga tidak ditemukan perbedaan signifikan ketika grup subjek simtomatis dan asimtomatis di analisa terpisah.
 
Jaff dkk ( Asymptomatic Carotid Trial I- ACT I) mendapatkan hasil serupa pada studi khusus pada populasi stenosis karotis yang belum pernah mengalami kejadian stroke sebelumnya. Subjek bebas stroke pasca prosedur mencapai 97.3% pada grup CAS dan 97.8% pada CEA.
Namun demikian, terdapat perhatian khusus mengenai aplikasi studi-studi mengenai CAS di dunia nyata. Sebuah studi oleh Jalbert dkk dimuat Journal of American Medical Association menemukan fakta berbeda mengenai kejadian stroke dan mortalitas pasca CAS. Pada subjek asimtomatik dengan rata rata usia 76 tahun, angka kematian dalam dua tahun pasca CAS mencapai 27%. Angka kematian tersebut bahkan mencapai 37.7% pada subjek simtomatik.
 
Oleh karena itu, tindakan CAS harus memperhatikan hal-hal tertentu yang meningkatkan risiko. Hal tersebut adalah: usia pasien yang tua, dan kurangnya pengalaman operator (beserta tim nya), dan komorbiditas subjek. Pada studi Jalbert, 85% subjek adalah penyakit jantung koroner, 25% gagal jantung dan 20% terdiagnosis kanker.
Patut menjadi perhatian bahwa euforia atas hasil studi SAPPHIRE dan CREST mesti diimbangi dengan sikap kritis melalui studi lanjut untuk terus menemukan indikasi paling ideal dan karakteristik pasien yang optimal untuk kandidat prosedur CAS. Keuntungan tindakan CAS akan sangat berkurang atau bahkan tidak ada pada penderita dengan risiko tinggi meninggal karena penyakit lain selain stroke.
 
KESIMPULAN
 
Pada populasi penderita dengan risiko tinggi komplikasi endarterektomi, data berbagai studi mendukung stenting sebagai alternatif terapi. Hasil Endarterektomi atau stenting pada penderita asimtomatik dan simtomatik cukup sebanding apabila dilakukan dengan operator dan tim yang berpengalaman. Keputusan revaskularisasi dan pemilihan teknik sebaiknya melibatkan diskusi multidisiplin dan keluarga pasien untuk mencapai keuntungan yang diharapkan dari langkah ini, yaitu prevensi stroke dan kematian. Stenting arteri karotis sejauh ini merupakan metode intervensi yang relatif tidak invasif dibandingkan endarterektomi dan memiliki masa depan cukup menjanjikan.

ARTICLE