25 Sep 2020, 23:43 Dandi Gumilar Dibaca : 9,855
Beberapa bulan yang lalu, laboratorium kateterisasi RS.Hasan Sadikin (RSHS) telah dilengkapi oleh teknologi invasif yang baru yaitu high-speed mechanical rotational atherectomy atau yang popular dikenal sebagai rotablator. Alat canggih yang harganya super mahal ini didatangkan bukan tanpa alasan kuat. Teknologi invasif ini niscaya akan semakin meningkatkan kualitas pelayanan pasien serta performa laboratorium kateterisasi RSHS yang memang tengah naik daun karena jumlah kasusnya yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan adanya alat ini, maka para kardiologist-intervensiologist RSHS akan semakin mampu menangani kasus-kasus stenosis arteri koroner dengan spektrum lebih luas serta kasus yang sulit melalui intervensi koroner transkateter (non-bedah). Laboratorium kateterisasi RSHS saat ini tercatat sebagai yang pertama dan satu-satunya memiliki rotablator di kota Bandung, atau salah satu diantara segelintir laboratorium kateterisasi di Indonesia yang memiliki rotablator.
Kasus penyakit jantung koroner saat ini jumlahnya semakin meningkat di Indonesia, juga termasuk di Bandung dan wilayah Jawa Barat. Penyakit ini juga sudah semakin sering ditemukan pada pasien dengan usia lebih muda yaitu pada usia 30an. Faktor risiko-nya antara lain berupa riwayat dalam keluarga, usia lanjut, merokok, hipertensi, kencing manis, kegemukan, dan gangguan profil kolesterol darah. Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya stenosis atau sumbatan plak kolesterol (aterosklerosis) yang menyebabkan suplai darah dan oksigen ke otot jantung berkurang sehingga menyebabkan gangguan fungsi maupun kerusakan otot jantung tersebut. Sumbatan tersebut bisa terjadi secara gradual dan menahun, atau bisa juga pada sebagian kasus terjadinya mendadak yang disertai juga dengan sumbatan oleh bekuan darah pada pembuluh koroner, suatu kejadian serius yang dikenal sebagai serangan jantung. Terapi yang tidak adekwat dapat berdampak fatal yaitu berakhir dengan kematian, atau menempatkan pasien ke risiko terjadinya gagal jantung, atau paling tidak akan mengganggu kualitas hidup pasien dikarenakan keluhan nyeri dada angina yang mereka alami berulang. Prosedur kateterisasi jantung saat ini merupakan metode diagnostik baku dalam menilai adanya stenosis pada pembuluh koroner, mengetahui lokasi serta derajat stenosisnya. Selain itu prosedur intervensi koroner transkateter (percutaneous coronary intervention) saat ini juga menjadi terapi utama dalam membuka stenosis pada pembuluh koroner (revaskularisasi). Tindakan tersebut merupakan prosedur minimal invasif, yaitu dengan insersi perangkat yang berupa seperti kawat atau selang tipis melalui pembuluh nadi (arteri) pada lengan atau pangkal paha yang selanjutnya didorong hingga mencapai arteri koroner jantung yang dimaksud. Tindakan dapat berupa pengembangan balon di lokasi stenosis (angioplasti), dengan dapat disertai atau tidak oleh pemasangan stent untuk menjaga patensi lebih baik pada lokasi koroner yang baru dibuka dengan balon. Seiring dengan kemajuan teknologi, maka berbagai prosedur pendukung yang canggih dilakukan untuk meningkatan performa angioplasti maupun stenting koroner, salah satunya berupa prosedur aterektomi koroner (pengikisan sumbatan plak aterosklerosis) yang antara lain menggunakan rotablator, yang kerjanya menyerupai alat bor. Tentunya tidak semua jenis stenosis dibuka dengan membutuhkan rotablator. Rotablator umumnya digunakan hanya pada sekitar 5% kasus PCI, namun kegunaannya sangat besar untuk membuka stenosis dengan kalsifikasi berat (sumbatan yang keras), dimana stenosis demikian tidak dapat dibuka dengan menggunakan metode inflasi balon seperti pada umumnya.
Sekilas sejarah intervensi koroner
Prosedur intervensi koroner transkateter muncul dari ide revolusioner seorang internist-kardiologist kelahiran Jerman yang bernama dr.Andreas Gruentzig yang berusaha menemukan teknologi baru untuk membuka stenosis atau sumbatan di arteri koroner dengan menggunakan balon yang dapat diinflasikan transkateter (prosedur angioplasti koroner) pada awal tahun 1975. Ia terinsipirasi dengan temuan Dotter dan Judkin pada tahun 1964 yang berhasil menginsersikan suatu dilator kaku transkateter untuk menangani berbagai kasus penyakit arteri perifer. Konsep demikianlah yang diterapkan untuk membuka stenosis aterosklerosis pada arteri koroner, namun tentunya harus dilakukan banyak penyesuasian seperti mencari jenis dilator yang lebih lunak dan tidak berpotensi merobek arteri koroner, ukuran perangkat lebih kecil sesuai dengan ukuran arteri koroner, serta metode insersi khusus. Pada jaman itu, stenosis pada arteri koroner diterapi melalui cara operasi bedah pintas jantung (bypass).
Eksperimen pertamanya pada hewan memberikan hasil yang yang menjanjikan dan sempat dibawakannya pada presentasi poster di acara the 49th scientific sessions of American Heart Association (AHA) di Miami Beach tahun 1975, suatu kasta tertinggi pertemuan internasional para kardiologist saat itu. Namun kala itu, prosedur tersebut belum mendapat sambutan baik dari para kardiologist, malahan mendapat respon skeptik. Hal tersebut diperburuk dengan laporan kegagalan prosedur tersebut satu tahun berselang, saat pertama kali ia mencobakannya pada pasien dengan stenosis koroner berat berupa three vessel disease dan disertai dengan lesi di left main. Barulah pada bulan September tahun 1977 prosedur minimal invasif tersebut menunjukkan hasil positif yaitu pada eksperimen kedua-nya pada manusia, seorang pasien di kota Zurich dengan stenosis koroner di cabang left anterior descendant. Hasil positif tersebut dipublikasikannya kembali pada sesi presentasi oral the 50th scientific sessions of AHA, dan mendapat sambutan luar biasa serta antusiasme yang tinggi. Pada tahun-tahun selanjutnya, prosedur yang dinamakan percutaneus transluminar coronary angioplasty (PTCA) atau balloon angioplasty tersebut mulai terus dikembangkan di berbagai belahan dunia dan berbagai penyempurnaan komponen perangkat dan teknik prosedur diupayakan selama periode tahun 1980an. PTCA kemudian menjadi terapi minimal invasif andalan untuk kasus penyakit jantung koroner, perlahan meninggalkan terapi bedah bypasss jantung yang lebih bersifat invasif. Pada periode 1990-an, berbagai teknologi baru yang mendukung optimalisasi prosedur PTCA mulai banyak bermunculan, antara lain berbagai metode aterektomi, trombektomi mekanik, pencegahan emboli, ablasi laser, serta stenting koroner. Berbagai teknik ini pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan kemampuan operator dalam menangani berbagai variasi jenis stenosis koroner. Salah satu teknik yang dikembangkan pada pertengahan era 1990-an di Amerika Serikat adalah rotablator sebagai suatu cara aterektomi. Dengan adanya tambahan berbagai teknologi intervensi baru pada intervensi koroner tersebut, maka prosedur tidak lagi hanya terbatas pada insersi dan inflasi balon di dalam arteri koroner (angioplasti), sehingga istilah percutaneous coronary intervention (PCI) lebih tepat digunakan menggantikan PTCA. Dengan berkembangnya era PCI dalam penanganan penyakit jantung koroner, maka insidensi kematian yang disebabkan oleh penyakit ini menurun drastis. Sehingga tidaklah mengherankan jika dr.Eugene Braunwald, bapak kardiologi modern, menempatkan temuan PCI sebagai salah satu dari 10 penemuan yang paling berpengaruh dan bermanfaat sepanjang sejarah kardiologi.
Prosedur dan indikasi penggunaan rotablator
Rotablator adalah salah satu jenis alat yang bekerja sebagai aterektomi, yaitu prosedur untuk melebarkan lumen pembuluh koroner dengan cara mengikis atau membuang plak aterosklerosis yang menyumbat. Rotablator sebenarnya bukanlah prosedur aterektomi pertama yang pernah dilakukan pada praktik klinis. Sebelumnya pada awal 1990an directional coronary atherectomy (DCA) catheter atau dikenal dengan Simpson atherocath sudah sering dilakukan sebagai prosedur aterektomi. Namun dalam perjalanannya, beberapa studi menunjukkan adanya peningkatan komplikasi dini dan peningkatan biaya operasional dari prosedur tersebut, tanpa disertai dengan manfaaat klinis yang bermakna dalam pantauan 6 bulan pasca prosedural. Dengan demikian, DCA sudah mulai ditinggalkan dan jarang digunakan pada praktik klinis saat ini. Prosedur aterektomi sendiri pada awal berkembangnya ditujukan untuk meningkatkan patensi pembuluh koroner yang telah dibuka, atau dengan kata lain mengurangi insiden re-stenosis. Namun dengan ditemukannya stent koroner, terutama stent bersalut obat (drug eluting stent) yang efektif dalam menurunkan insiden re-stenosis dibandingkan dengan angioplasti balon semata, maka pada praktik klinis saat ini, prosedur aterektomi lebih banyak dipakai pada kasus lesi stenosis yang kompleks (sumbatan yang keras dan tak bisa diinflasi dengan angioplasti balon) dengan tujuan meningkatkan hasil PCI. Didukung dengan banyak pengalaman klinis dan studi-studi dengan hasil yang positif, maka metode rotablator atau high-speed mechanical rotational atherectomy adalah prosedur aterektomi yang paling sering dipakai pada praktik klinis.
Rotablator terdiri atas bor berbentuk bola rugby atau kacang almond yang terbuat dari baja stainless steel atau kuningan dimana permukaannya ditancapkan potongan-potongan batu berlian yang berdiameter 30 – 120 mikron. Bor ini kemudian disambungkan ke tangkai kendali yang fleksibel yang memungkinkan bor tersebut didorong melalui guidewire yang dapat dikendalikan. Tangkai kendali tersebut ditempatkan dalam sarung Teflon, dimana melaluinya cairan tertentu disemprotkan dengan tujuan sebagai pelumas atau pendingin tangkai kendali dan bor. Tangkai kendali dapat berotasi dengan kecepatan 140,000 hingga 200,000 putaran per menit melalui sistem turbin udara yang dikompreskan, sembari didorong ke arah plak sumbatan. Bor untuk koroner tersedia dalam ukuran diameter 1.25, 1.5, 1.75, 2.0, 2.15, 2.25, dan 2.5 mm. Pemilihan ukuran bor tersebut pada umumnya berdasarkan pengalaman klinis namun sebaiknya rasio diameter bor dengan koroner tidak melebihi 0.7.

Prosedur rotablator diawali layaknya kateterisasi jantung lainnya, yaitu memasukkan guidewire melalui akses arteri perifer, umumnya arteri femoralis pada pangkal paha, menuju lokasi stenosis yang dituju. Setelah mencapai lesi target, barulah bor rotablator dimasukkan dengan menggunakan guide catheter melalui akses yang sama. Kemudian rotablasi mulai dilakukan terhadap sumbatan aterosklerosis secara bertahap melalui pantauan fluoroskopi. Rotablasi diaktifkan oleh operator dengan cara menginjal pedal kaki, dan besarnya putaran per menit disesuaikan dengan kebutuhan (umumnya 160,000 putaran per menit untuk bor ukuran kecil, dan 140,000 untuk bor berdiameter >2 mm). Saat bor mengenai lesi sumbatan akan menghasilkan bunyi turbin yang khas serta normalnya besaran putaran per menit tersebut akan turun dikarenakan adanya tahanan berupa sumbatan tersebut. Namun, satu hal yang penting untuk dipantau selama rotablasi berlangsung adalah menghindari penurunan besarnya putaran per menit yang melebihi 5000 kali per menit karena berisiko terbentuknya serpihan-serpihan berukuran besar hasil rotablasi yang kurang sempurna serta terjadinya fraksi berlebih sehingga menimbulkan panas pada plak ateroma. Rotablasi umumnya dilakukan selama 30 detik, kemudian diselingi dengan periode henti sejenak dimana bor berhenti dan ditarik sedikit ke sisi hulu dari sumbatan. Selama periode henti tersebut, dapat dilakukan injeksi kontras untuk melihat aliran darah di sebelah hilir sumbatan sebagai penilaian hasil rotablasi, serta dilakukan pengecekan akan risiko cedera atau komplikasi pada dinding pembuluh koroner yang diakibatkan oleh rotablasi. Kemudian rotablasi dilakukan kembali secara bertahap hingga seluruh sumbatan plak berhasil dikikis dan aliran koroner terbuka. Prinsip kerja rotablator dalam aterektomi adalah abrasi (mengikis) dan menggiling plak. Rotablator secara selektif mengikis jaringan tidak elastik seperti plak yang keras, namun tidak terhadap dinding pembuluh darah normal. Hasilnya, plak akan hancur menjadi serpihan sangat kecil (20-50 mikrometer) sehingga dapat tersapu melalui mikrosirkulasi koroner.

Prosedur rotablasi dapat diikuti atau tidak dengan prosedur angioplasti atau stenting, dan tujuannya memang untuk mengoptimalkan hasil angioplasti atau stenting itu sendiri.. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa stenting yang diawali dengan prosedur rotablasi memberikan hasil yang lebih baik dalam hal terbukanya stenosis maupun periode bebas gejala, daripada stenting semata. Beberapa komplikasi yang mungkin disebabkan oleh rotablator antara lain berupa diseksio (robekan dinding pembuluh darah), emboli, perforasi, vasospasme, dan no reflow (gagal alir). Namun dengan kemajuan teknologi rotablator saat ini, komplikasi tersebut sudah semakin jarang terjadi. Beberapa kontraindikasi penggunaan rotablator adalah apabila tampak adanya trombus atau gumpalan darah pada daerah lesi, atau pada lesi sumbatan yang panjang dimana prosedur rotablasi pada kasus ini memilik risiko lebih tinggi untuk terjadinya no-reflow atau kejadian serangan jantung.
Rotablator terutama sangat bermanfaat digunakan untuk beberapa jenis lesi spesifik dimana balon atau stent konvensional tidak dapat dimasukkan atau diketahui berkaitan dengan hasil angiografi yang suboptimal. Diantaranya berupa lesi dengan kalsifikasi berat, lesi dengan lubang masuknya yang tidak bisa dikembangkan, lesi yang tidak dapat ditembus oleh kateter konvensional dikarenakan kekakuan dari sumbatan, lesi pada lokasi percabangan besar (bifurkasio) dan oklusi total kronik. Walaupun rotablator cukup sering digunakan pada kasus in-stent restenosis (sumbatan ulangan di lokasi yang telah dipasang stent), namun data dari beberapa studi menunjukkan hasil yang masih diperdebatkan perihal manfaatnya jika dibandingkan dengan pembukaan sumbatan dengan menggunakan inflasi angioplasti balon konvensional.
Dengan berbagai kecanggihan dan manfaat dari rotablator yang sudah sering dipakai di berbagai center di banyak negara maju, hadirnya alat ini diharapkan akan semakin meningkatkan performa laboratorium kateterisasi RSHS, terutama dalam menangani kasus-kasus sulit, yang pada akhirnya tentunya memberikan manfaat besar bagi pasien-pasien penyakit jantung koroner di Bandung, khususnya, dan di Jawa Barat, pada umumnya.
(LPS)